Minggu, 27 Januari 2008

Kisah Sukses Jadi Pengusaha

Dalam Postingan ini saya ingin mengisahkan salah satu kisah sukses seseorang yang mengalami perjalanan panjang untuk menjadi pengusaha sukses. Saya hanya ingin hal ini menjadi bekal dan pengalaman bagi semua orang agar tidak mudah menyerah dalam mengarungi hidup ini, semua ada jalannya, Termasuk bagi pengusaha ini, Berikut cerita dan pengalaman – pengalamannya
Lulusan STM bangunan ini mengawali bisnisnya hanya dengan dua gerobak. Kini, ia memiliki 10 pabrik dan 2.000 outlet Edam Burger yang tersebar di seluruh Indonesia. Segalanya tentu tak mudah diraih. Bahkan, ia pernah menjalani hidup yang keras di Jakarta. Made Ngurah Bagiana, lahir pada 12 April 1956 sebagai anak keenam dari 12 bersaudara. Sejak kecil, dia terbiasa ditempa bekerja keras. Malah kalau dipikir-pikir, sejak kecil pula dia sudah jadi pengusaha. Bayangkan, tiap pergi ke sekolah, tak pernah diberi uang jajan. Kalau mau punya uang, harus ke kebun dulu mencari daun pisang, potong-potong, lalu dijual ke pasar. Menjelang hari raya, dia pun tak pernah mendapat jatah baju baru. Biasanya, beberapa bulan sebelumnya dia memelihara anak ayam. Kalau sudah cukup besardia jual. Uangnya untuk beli baju baru. Lalu, sekitar usia 10 tahun, dia harus bisa memasak sendiri. Jadi, kalau mau makan, Ibu cukup memberi segenggam beras dan lauk mentah untuk diolah sendiri.

Begitulah, hidup Made bergulir hingga menamatkan STM bangunan tahun 1975. Bosan di Bali, dia akhirnya merantau ke Jakarta tanpa tujuan, menumpang di kontrakan kakaknya di Utan Kayu. Untuk mengisi perut, dia sempat menjadi tukang cuci pakaian, kuli bangunan, dan kondektur bis PPD. Kerasnya kehidupan Jakarta, tak urung menjebloskannya pada kehidupan preman. Bermodal rambut gondrong dan tampang sangar, ada-ada saja ulah yang dia perbuat. Paling sering kalau naik bis kota tidak bayar, tapi minta uang kembalian.
Akhirnya setelah sekian lama menjadi preman dia pensiun. Gantinya, Made berjualan telur. dia beli satu peti telur di pasar, lalu diecer ke pedagang-pedagang bubur. Ternyata, usaha tersebut tidak berjalan mulus. Dia pun beralih menjadi sopir omprengan. Bentuknya bukan seperti angkot ataupun mikrolet zaman sekarang, masih berupa pick-up yang belakangnya dikasih terpal. Dia menjalani rute Kampung Melayu - Pulogadung - Cililitan.
Tahun 1985, dia pulang ke kampung halaman. Pada 25 Desember tahun itu, kemudian menikah dengan perempuan sedaerah, Made Arsani Dewi. Oleh karena cinta mereka bertaut di Jakarta, mereka memutuskan kembali ke Ibu Kota untuk mengadu nasib. mereka membeli rumah mungil di daerah Pondok Kelapa. Waktu itu dia bisnis mobil omprengan. Awalnya berjalan lancar, tapi karena deflasi melanda tahun 1986-an, dia pun jatuh bangkrut. Kerugian makin membengkak. dia harus menjual rumah dan mobil. Lalu hidup mengontrak. Titik cerah muncul di tahun 1990. Saya pindah ke Perumnas Klender. Tanpa sengaja, dia melihat orang berjualan burger. dia pikir, tak ada salahnya mencoba. dia nekad meminjam uang ke bank, tapi tak juga diluluskan. Akhirnya dia kesal dan malah meminjam Rp 1,5 juta ke teman untuk membeli dua buah gerobak dan kompor. Bahan-bahan pembuatan burger, seperti roti, sayur, daging, saus, dan mentega, dia ecer di berbagai tempat. Dibantu seorang teman, dia menjual burger dengan cara berkeliling mengayuh gerobak. Burger dagangannya saya labeli Lovina, sesuai nama pantai di Bali yang sangat indah.


Banyak suka dan duka yang dia alami. Susahnya ketika hujan turun, karena tak bisa berjalan hingga akhirnya roti tersebut tidak laku.. Masih untung karena istri saya bekerja, setidaknya dapur kami masih bisa ngebul. Pernah juga gara-gara hujan nyaris disambar petir. Ketika itu dia tengah memetik selada segar di kebun di Pulogadung. Tiba-tiba hujan turun diiringi petir besar. Dia jatuh telungkup hingga baju belepotan tanah. Rasanya miris sekali.
Awal-awal dia berjualan, tak jarang tak ada satu pun pembeli yang menghampiri, padahal seharian saya mengayuh gerobak. Mereka mungkin berpikir, burger itu pasti mahal. Padahal, sebenarnya tidak. dia hanya mematok harga Rp 1.700 per buah. Baru setelah tahu murah, pembeli mulai ketagihan. Dalam sehari bisa laku lebih dari 20 buah. Untuk mengembangkan usaha, dia mengajak ibu-ibu rumah tangga berjualan burger di depan rumah atau sekolah. Mereka ambil bahan dengan harga lebih murah. Namun upaya tersebut berhasil. Dalam dua tahun, gerobak burger beranak menjadi lebih dari 40 buah. Selang beberapa lama akhirnya dia pensiun menjajakan burger berkeliling dan menyerahkan semua pada anak buah.Tidak berhenti sampai di situ, tahun 1996 saya mencoba membuat roti sendiri dan membuat inovasi cita rasa saus. Seminggu berkutat di dapur, hasilnya tak mengecewakan. Dia berhasil menciptakan resep roti dan saus burger bercita rasa lidah orang Indonesia. Rasanya jelas berbeda dengan burger yang dijual di berbagai restoran cepat saji.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda